UPACARA TABUIK
DI PARIAMAN:
PARADIGMA
DEKONSTRUKSI WACANA
ESTETIKA
POSTMODERNISME
PENDAHULUAN
Sebagai daerah rantau, di Pariman terdapat berbagai jenis
kesenian
anak
nagari dan keberadaannya dalam ‘masyarakat
adat’ diakui sebagai permainan
anak nagari. Kondisi masing-masing kesenian
tersebut sangat bervariasi, yaitu
ada yang hidup, berkembang, dan
berdampingan dengan komunitas
masyarakatnya, di samping ada juga
yang telah berubah sesuai dengan globalisasi
massa dan efesiensi pendukungnya.
Salah satu jenis permainan anak nagari
tersebut adalah upacara tabuik, berbentuk rites, mengenang sahidnya Imam
Husein Bin Ali Abi Thalib di tawan
oleh tentara Yazid Bin Muawiyah di Padang
Karbala. Keberadaanya sekarang
dapat dilihat dari eksistensinya di tengah-tengah
masyarakat telah terkontaminasi
oleh desakan otonomi daerah, desakan
pariwisata, dan otoriter
pemerintahan terhadap pertunjukan upacara tabuik. Secara
historis upacara ini erat
kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan agama
Islam, khususnya Islam Syi'ah di
Pariaman.
Pada mulanya upacara tabuik merupakan upacara suci bagi para
kaum
Syi’ah yang berada di pantai barat
Sumatera Barat umumnya atau di Pariaman
khususnya. Upacara ini
dilaksanakan sekali dalam satu tahun, setiap tanggal 1
sampai dengan 10 Muharam dihitung
berdasarkan tahun Hijiriah. Keberadaanya
diakui sebagai upacara anak
nagari serta dilindungi oleh adat
Minangkabau.
Setelah masuk paham
postkolonialisme, pemikiran modernisme, dan
eksperimentasi hegemoni memasuki
subtansial bentuk-bentuk artistik ideologi
estetika moderat dominan dilakukan
secara sporadis terhadap kelompok estetika
tradisional yang orientasinya
jelak-bagus, kaya-miskin, pusat-daerah, seni kratonseni
pesisir, dan Barat-Timur, seperti
realisme yang sebagian besar merupakan
penemuan bentuk-bentuk hegemoni
Barat. Selain memiliki estetika model-model
kultural yang berbeda,
bentuk-bentuk kebudayaan tersebut secara radikal
2
mengacaukan asumsi-asumsi umum
estetika suatu etnis, termasuk kebudayaan
Indonesia yang multikultural,
multietnis, dan multibahasa. Di sinilah estetika
postmodernisme sebenarnya menuntut
bahwa kebudayaan dan estetika bukanlah
hanya satu di antara sekian banyak
cara guna memahami realitas dan
mengorganisasi berbagai
representasi yang berbeda-beda dalam kesenian dan
praktik sosial lainnya, melakukan
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
kanter hegemonik (counter
hegemonic) atau dekonstruksi
terhadap perlakuan
sistem penguasaan hegemoni
tersebut.
Keterbukaan kebudayaan pluralistik
mengilhami adanya kecenderungan
budaya atas nilai-nilai atau
norma-norma, sehingga nilai-nilai kekhasan
(ideografis) setiap etnis, kelompok masyarakat, bahkan individu akan selalu
muncul sebagai akibat proses
penyerapan nilai, lingkungan, pengetahuan dasar,
dan pandangan dunia setiap
kelompok individu tersebut berbeda-beda. Oleh
karena itu, ruang pribadi atau critical
distance ini harus selalu dipahami
dalam
konteks nilai-nilai kultural yang
bersifat ideografis
untuk setiap etnis dalam
suatu
suku bangsa, kelompok masyarakat,
bahkan suatu invidu agar tidak terjebak
dengan masalah nasrasi budaya
modernitas (Santoso, 2003: 10).
Pemahaman nilai-nilai dan
norma-norma kultural yang bersifat dinamis
yang nomotetis dan sekaligus ideografis, penting agar tidak terperangkap
pada
analisis dan interpretasi yang
sempit dan kaku, seperti yang pernah disarankan
oleh Jacques Derrida dengan proyek
dekonstruksinya. Begitu juga hubungan nilai
kultural dan proses sosial dalam
upacara tabuik
di Pariaman yang merupakan
suatu interaksi antar anggota
masyarakat baik yang bersifat verbal maupun non
verbal dalam upacara tersebut.
Nilai dan norma kultural yang
terkandung dalam upacara tabuik di
Pariaman yang merupakan suatu
proses sosial akan terlihat melalui fungsi sosial
dan tata cara proses sosial,
seperti bentuk kasus musyawarah nagari yang
mempunyai fungsi sosial untuk
mendapatkan mufakat dan penyelesaian masalah
adat serta permainan
anak nagari. Selain
itu proses sosial musyawarah, juga
mempunyai suatu tata cara tertentu
dalam penyelenggaraannya sehingga
3
merupakan pengejawatahan
nilai-nilai harmonis dalam berinteraksi pada
masyarakat Pariaman di Sumatera
Barat.
Berkaitan dengan penjelasan di
atas, maka upacara tabuik sebagai wacana,
maka menurut Spradley (1987),
Endraswara (2003), dan Kutha Ratna (2004)
bahwa kehadiran pemikiran
postmodernisme memberikan ketidakpuasan terhadap
model penelitian budaya
sebelumnya, atau perlakuan terhadap idealitas sering
mengalami stagnasi dan membentuk oposisi biner, sehingga ada yang menang
dan ada yang kalah, ada yang baik
dan ada yang buruk. Teori evolusionisme,
struktural fungsional, dan
seterusnya mengklaim dirinya modern sehingga teori
dalam ranah “cultural
studies” kurang mewakili kebenaran
budaya yang semakin
kompleks. Tuntutan zaman dan
selera budaya masa kini tidak mampu diwadahi
oleh teori-teori modern yang agak
sedikit kaku karena berada pada oposisi biner.
Pandangan modernisme hampir selalu
subjec
matter, yaitu sebuah pemahaman
budaya “harus ini” dan “harus
itu”. Artinya, keharusan semacam itu sering tidak
cukup mampu melacak kebenaran
fenomenal budaya yang kian berkembang dan
sekadar kamuflase saja.
Sebagai wilayah dekonstruksi
estetis upacara tabuik Keesing (1999:5; dan
Endraswara, (2003:123-124)
menyatakan bahwa kebenaran dan keseimbangan
budaya yang dimaksud Derrida
merupakan suatu wacana yang hadir dan harus
dibela keberadaannya di dalam
peristiwa teks. Otoritas teks-teks di dalam sebuah
wacana akan menentukan posisinya
sebagai bentuk, fungsi dan makna pada
peristiwa budaya. Di samping itu
teks-teks yang tersusun di dalam upacara tabuik
adalah; (1) upacara
mengambil tanah, (2) upacara
menebang batang pisang, (3)
upacara
ma-atam panja, (4) upacara
ma-arak sorban, (5)
upacara tabuik
naik
pangkek, dan (6), upacara
ma-oyak tabuik.
Selanjutnya, semua teks-teks ini
disebut juga “wacana” atau “bacaan
upacara tabuik”. Konstruksi bangunan
wacana atau bacaan upacara tabuik tersebut akan didekonstruksi atau
“dibongkar”
melalui proses dekonstruksi
Derrida yang membebaskan logosentris-nya dari
peristiwa ke dalam sebuah fakta
budaya dengan menonjolkan subtansial dan
kesadaran wacana (Greg, 2002:157).
Hal ini diperkirakan akan dapat membaca
4
estetika postmodernisme
Indonesia yang
multikultural dengan menunjukkan gaya
dan entitas estetika yang
daerah-daerahnya multi kultural.
Penelitian ini akan dijelaskan
dengan dekonstruksionisme
bentuk, fungsi
dan makna yang sesuai dengan cultural
studies. Pandangan kebudayaan
postmodernisme tentang idealitas
dan nilai teks, estetika, dan upacara tabuik di
Pariaman Sumatera Barat merupakan
semangat zaman (zeitgeist) yang berlaku
universal dan menimbulkan
permasalahan epistemologi tentang estetika. Tentu
saja hal ini disebabkan oleh
perkembangan postmodernisme itu sendiri yaitu
diwarnai oleh fragmentasi
kebudayaan, segmentasi kelompok-kelompok sosial,
dan kemajemukan gaya etnis yang
menyertainya. Masalahnya, nilai-nilai formal
dan fungsional tidak lagi menjadi
kandungan isi utama, sehingga kajian
postmodernisme membuka pintu
lebar-lebar berintegrasi dan “bersimpangsiuran”
berbagai gaya estetis dari
berbagai seniman, periode, kebudayaan bahkan yang
bersifat kontradiktif sekalipun
membentuk kontur-kontur gaya yang bersifat
sinkretik, elektrik, atau hibrik
(Piliang, 2003:201). Dengan demikian, nyatalah
bahwa pendekatan postmodernis terhadap
bentuk, fungsi dan makna terhadap
wacana nilai estetika pada upacara
tabuik
di Pariaman pun, cenderung
menekankan pada makna majemuk (polysemy) dan bukan makna tunggal
(monosemy).
Adapun masalah dalam penelitian
ini adalah: a) Bagaimanakah bentuk
upacara tabuik, kaitan dengan estetika budaya
masyarakat di Pariaman?; b)
Bagaimanakah fungsi estetika
upacara tabuik
pada masyarakat di
Pariaman
sekarang?; dan c) Bagaimanakah
masyarakat memaknai upacara tabuik di
Pariaman, Sumatera Barat?
Tujuan penelitian ini ada dua
macam yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus. Secara umum penelitian ini
bertujuan untuk mencari jawaban dan
penjelasan dari
pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan. Di samping itu,
juga bertujuan untuk mengetahui
kandungan isi estetika upacara tabuik pada
masyarakat Pariaman Sumatera Barat
yang akan dijadikan cerminan dan pedoman
dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau pada umumnya. Secara khusus
5
penelitian ini bertujuan untuk: a)
Mengetahui bentuk pertunjukan upacara tabuik
di Pariaman Sumatera Barat sebagai
budaya masyarakat Minangkabau sekarang;
b) Mengetahui fungsi estetika
upacara tabuik
dalam kehidupan sosial
masyarakat
Pariaman; dan c) Menjelaskan makna
estetis yang terkandung dalam pertunjukan
upacara tabuik bagi kehidupan masyarakat
dikaitkan dengan agama dan adat
istiadat di Minangkabau khususnya.
B. PEMBAHASAN
Sebagai permainan
anak nagari, kesenian
di Minangkabau sangat
bervariasi, yaitu ada yang hidup,
berkembang, dan berdampingan dengan
komunitas masyarakatnya, di samping
ada juga yang telah berubah sesuai dengan
globalisasi massa dan efesiensi
pendukungnya. Salah satu adalah upacara tabuik,
berbentuk rites, mengenang sahidnya Imam Husein Bin
Ali Abi Thalib di tawan
oleh tentara Yazid Bin Muawiyah di
Padang Karbala. Sekarang, eksistensinya di
tengah-tengah masyarakat telah
terkontaminasi dan terganggu oleh desakan
otonomi daerah, pariwisata, dan
otoriter pemerintahan. Jauh dari kondisi sekarang
ini, secara historis upacara ini
erat kaitannya dengan pertumbuhan dan
perkembangan agama Islam,
khususnya Islam Syi'ah di Pariaman. Di samping itu,
upacara tabuik merupakan upacara suci bagi para
kaum Syi’ah yang berada di
pantai barat Sumatera Barat
umumnya atau di Pariaman khususnya. Upacara ini
dilaksanakan sekali dalam satu
tahun, setiap tanggal 1 sampai dengan 10
Muharam dihitung berdasarkan tahun
Hijiriah. Keberadaanya diakui sebagai
upacara anak
nagari serta dilindungi oleh adat
Minangkabau.
Indikasi dan kapabilatas pemikiran
modernisme, dan eksperimentasi
hegemoni terhadap upacara tabuik memasuki subtansial bentuk-bentuk
artistik
ideologi, estetika moderat,
dominan dilakukan secara sporadis terhadap kelompok
estetika tradisional yang
orientasinya jelek-bagus, kaya-miskin, pusat-daerah, seni
kraton-seni pesisir, dan Barat-Timur,
seperti realisme yang sebagian besar
merupakan penemuan bentuk-bentuk
hegemoni Barat. Selain memiliki estetika
model-model kultural yang berbeda,
bentuk-bentuk kebudayaan tersebut secara
radikal mengacaukan asumsi-asumsi
umum estetika suatu etnis, termasuk
6
kebudayaan Indonesia yang
multikultural, multietnis, dan multibahasa. Di sinilah
estetika postmodernisme sebenarnya
menuntut bahwa kebudayaan dan estetika
bukanlah hanya satu di antara
sekian banyak cara guna memahami realitas dan
mengorganisasi berbagai
representasi yang berbeda-beda dalam kesenian dan
praktik sosial lainnya, melakukan
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
kanter hegemonik (counter
hegemonic) atau dekonstruksi
terhadap perlakuan
sistem penguasaan hegemoni
tersebut.
Paham postmodernisme
mendekonstruksi tentang idealitas dan nilai teks,
estetika, dan upacara tabuik di Pariaman Sumatera Barat
merupakan semangat
zaman (zeitgeist) yang berlaku universal dan
menimbulkan permasalahan
epistemologi tentang estetika.
Tentu saja hal ini disebabkan oleh perkembangan
postmodernisme itu sendiri yaitu
diwarnai oleh fragmentasi kebudayaan,
segmentasi kelompok-kelompok
sosial, dan kemajemukan gaya etnis yang
menyertainya. Masalahnya,
nilai-nilai formal dan fungsional tidak lagi menjadi
kandungan isi utama, sehingga
kajian postmodernisme membuka pintu lebar-lebar
berintegrasi dan
“bersimpangsiuran” berbagai gaya estetis dari berbagai seniman,
periode, kebudayaan bahkan yang
bersifat kontradiktif sekalipun membentuk
kontur-kontur gaya yang bersifat
sinkretik, elektrik, turbelensi, supersif,
provokator, gila sekalipun, dan
hibrik. Dengan demikian, nyatalah bahwa
pendekatan postmodernis terhadap
bentuk, fungsi dan makna terhadap wacana
nilai estetika pada upacara tabuik di Pariaman pun, cenderung
menekankan pada
makna majemuk (polysemy) dan bukan makna tunggal (monosemy).
Hal ini, diyakini juga bahwa
upacara tabuik
selalu memuat sifat-sifat
dan
makna yang berakar pada konteks
sosio-kultural, dan tentunya upacara tabuik ini
akan dapat ditafsirkan berbeda-beda
dalam tempat dan waktu yang berlainan.
Memahami makna estetika upacara tabuik di Pariaman, maka penjelajahan
esensial makna upacara tabuik akan dijelaskan dengan
mendekonstruksi makna
wacana. Tendensi pencarian dan
penjelajahan makna upacara tabuik dengan
dekonstruksi atau membongkar
bertujuan untuk mencari nilai-nilai universal,
sesuai dengan ideologi budaya
postmodernisme adalah keragaman, oposisi biner,
dan “counter
kemapanan”, dalam
implementasi yang sangat luas meliputi
7
berbagai persoalan. Kerangka
budaya dari keragaman tersebut adalah
menghempaskan yang monolitik dan
homogen atas perbedaan (difference),
keanekaragaman, dan heterogenitas.
Diilhami penelitian terdahulu,
Khanizar (1995) berjudul “Musik Tabuik
dalam Upacara Tabuik sebagai
Upacara kaum Syi'ah di Pantai Barat Sumatera
Barat”,
skripsi Sarjana (S1) etnomusikologi pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia
Surakarta. Skripsi ini menjelaskan
secara deskriptif tentang pelaksanaan upacara
tabuik di Pantai Barat Sumatera Barat. Di
samping itu, skripsi ini dipandang
belum lengkap karena masih pada
tataran deskriptif karena belum menggunakan
konsep, kerangka teori untuk
menjelaskan objek penelitian. Berdasarkan
kekuranganitensitas skripsi maka
dikembangkan menjadi judul “Upacara Tabuik
Di Pariaman, Sumatera Barat:
Analisis melalui Teori Dekonstruksi, dan Wacana
Estetika Postmodernisme”. Adapun
pustaka yang dirujuk dan akan dijadikan
kredibilitas sebagai dasar untuk
penjelasan penelitian ini. Kris Budiman (2004)
dalam Jejaringan
Tanda-tanda, Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik
Kebudayaan. Dalam buku ini Budiman menjelaskan
sisi budaya dari langue dan
parole; langue merupakan sistem dan intuisi,
sedangkan parole
pada hakikatnya
merupakan tindakan individual yang
menggunakan kode bahasa untuk
mengungkapkan pikiran pribadinya.
Berlainan dengan Budiman (2004), penelitian
ini akan menggunakan konstruksi
teks dalam wacana estetika budaya upacara
tabuik di Pariaman di luar persoalan
bahasa. Artinya, konsep parole dan langue
akan berbeda, sangat penting dan
pantas dipergunakan di luar persoalan linguistik
(bahasa), tetapi pantas dan
relevan juga digunakan untuk menjelaskan persoalan
budaya.
Sedangkan untuk menjelaskan wacana
dekonstruksi konsep Jacques
Derrida, sekurangnya ada dua buku
yang sangat relevan dan pantas untuk
dikemukakan, yakni Membaca
Pemikiran Jacques Derrida yang
ditulis oleh
Gayatri Chakravorty Spivak (2003).
Kemudian, Membongkar
Teori Dekonstruksi
Jacques
Derrida yang ditulis oleh
Christopher Norris (2003). Berdasarkan Norris
(2003) dan Spivak (2003) upacara tabuik dapat dilacak esistensi
estetikanya
melalui metode pembacaan
dekonstruktif, bahwa pembacaan terhadap wacana
8
estetika dalam upacara tabuik sesungguhnya adalah tulisan
seperti yang
dinyatakan oleh Jacques Derrida.
Yasraf Amir Piliang Piliang
menulis wacana estetika postmodernisme
dalam beberapa tulisannya,
antaranya, Hipersemiotika
Tafsir Cultural Studies
Atas Matinya
Makna (2003).
Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era
Posmetafisika.
2004a. Dunia yang
Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas
Kebudayaan. 2004b. Maka untuk itu penting penelitian
ini lebih mengarah kepada
bentuk penelitian dekonstruksi
wacana estetika upacara tabuik sebagai kesenian
anak nagari dalam arti seni pertunjukan yang
seluas-luasnya dengan
mengutamakan kearifan lokal.
Berdasarkan informasi, laporan
penelitian, dan buku-buku yang berkaitan
dengan upacara tabuik di Pariaman Sumatera Barat tidak
ada ditemui judul
penelitian/tulisan yang sama
dengan penelitian ini. Dengan demikian, maka
penelitian tentang “Upacara Tabuik
di Pariaman, Sumatera Barat: Analisis melalui
Teori Dekonstruksi, dan Wacana
Estetika Postmodernisme”, belum pernah
dilaksanakan sehingga dirasakan
otentik untuk kepentingan penelitian penysunan
tesis ini.
Fokus kajian ini adalah wacana
idealitas estetika upacara tabuik di
Pariaman, Sumatera Barat. Wacana
merupakan suatu kesadaran terhadap nilai
tradisonal. Pembahasan penelitian
ini akan menggunakan dua teori besar yaitu
teori dekonstruksi postmodernisme
Jacques Derrida dan teori (post)semiotika
Roland Barthes. Di samping itu,
penelitian ini bersifat kualitatif, dilakukan
dengan paradigma baru ilmu
pengetahuan, yakni cultural studies. Artinya,
penelitian ini bukan hanya
menjelaskan upacara tabuik dalam “estetika telanjang”
tentang ontologi yang
sesesungguhnya, konservatif, positivistik, formalis,
melainkan sebuah bentuk penelitian
yang dikemas—secara epistemologis—ke
dalam bentuk wacana estetika
postmodernisme. Sangat disadari, bahwa kajian
tentang wacana dan teks adalah
lahan penelitian linguistik, tetapi dalam hal ini
dikembangkan untuk menjelaskan
peristiwa budaya dan kesenian. Sehingga,
metode dekonstruksi wacana
estetika postmodernisme dalam fenomen kehadiran
upacara tabuik dapat disejajarkan dengan
konstruksi teks-teks.
9
Sebenarnya dengan menggunakan
teori dekontruksi postmodernisme
dalam menganalisis upacara tabuik di Pariaman, Sumatera Barat sangat
tepat,
tidak saja meretas dan mengakui
pluralitas budaya sebagai keniscayaan realitas,
dan meng-counter nuansa dominasi subjek terhadap
objek, tetapi jauh dari itu,
akan mampu merefleksikan
kanon-kanon budaya tradisi untuk mencapai
keseimbangan dan pluralitas itu
sendiri, sehingga dirasakan bebas dari makna
monosemy.
Bentuk konstruksi teks upacara tabuik Pariaman, merupakan bentuk
ketidakmampuan modernisme dalam
menanggulangi ketidakpuasan masyarakat
yang termajinalkan. Hal ini
dirasakan oleh masyarakat akademisi dan profesional
di bidang kajiannya, seperti,
masalah sosial, politik, ekonomi, seni, dan
kebudayaan, pada umumnya. Kegagalan
atas ketidakpuasan tersebut paling sedikit
meliputi lima aspek, yaitu; (1)
kegagalan dalam mewujudkan perbaikan dalam
berbagai bidang, (2) modernisme
gagal dalam melepaskan diri dari kesewenangwenangan
dan penyalahgunaan otoritas,
misalnya penggunaan referensi yang
mendahului penelitian, (3) dalam
perkembangan teori modern sering terjadi
kontradiksi antara teori dan
fakta, (4) ilmu pengetahuan modernisme ternyata
tidak mampu menanggulangi
kemiskinan, pengangguran, dan kerusakan
lingkungan yang diakibat oleh
kemajuan teknologi, (5) ilmu pengetahuan modern
terlalu menekankan pada dimensi
fisik, dan mengabaikan dimensi mitis dan
metafisika yang lain.
Di samping itu, fenomena tentang
“kesenian” adalah peristiwa dalam
wacana upacara tabuik Pariaman, Sumatera Barat.
Kemudian, permasalahannya
dipahami sebagai suatu peristiwa
upacara, akan dapat hidup dan bertahan
dalam
masyarakat pendukungnya dan
memberikan kepuasan bagi suatu kelompok
masyarakat, untuk memenuhi fungsi
serta tugasnya dalam struktur masyarakat.
Adapun dekonstruksi fungsi wacana
tersebut terdiri dari, (1) Fungsi Instruksi,
Pengokohan Sistem Sosial dan
penundaan Propaganda, (2) fungsi keyakinan dan
kesadaran rasionalitas humanistik,
(3) fungsi kehadiran mitos untuk penyatuan
ambivalensi, (4) fungsi pengembangan
ideologi, dan penyingkapan kode estetik,
10
(5) fungsi identifikasi peristiwa
dan pernyataan wacana estetika postmodernisme,
dan (6) fungsi pensucian dan
penyataan estetis kosmologi masyarakat.
Ada pun makna wacana yang
didekonstruksi dari konstuksi teks-teks
wacana tabuik terdiri dari, (1) Makna differãnce: menunda kehadiran makna
sebelum lahirnya makna baru, (2)
Makna signification: membaca gejala retaknya
tanda dan runtuhnya makna, (3)
Makna logosentrisme: kritik terhadap pusat dan
dekonstruksi suatu penyelesaian,
(4) Makna sakralitas dan penciptaan ruang
desakralitas, (5) Makna
“Pariaman=beri aman” etika merantau, membentuk diri,
membangun kampung halaman
Bentuk yang dihadirkan dalam
wacana upacara tabuik adalah berkaitan
dengan realitas kekinian dan dapat
didudukkan sebagai fakta estetika budaya
Minangkabau, selama ini
eksistensinya tidak terjamah, terpingirkan, cenderung
berpaham atas estetika
orientalisme. Follow-up dekonstruksi estetika
postmodernisme terhadap kajian
pertunjukan upacara tabuik, harus diposisikan
sebagai rangkaian teks-teks yang
berurutan sesuai dengan ideologi dan nilai
wacana.
Dekonstruksi wacana estetika di
sini akan menunjuk pada salah satu
bidang, untuk mempertahankan
keutuhan, kekuatan yang berjalan secara terusmenerus
dalam eksistensi dan pola
kehidupan masyarakat. Refleksi jejak
postmodernisme bertujuan untuk
mengetahui tentang apa yang diaplikasikan dan
dioperasikan ke dalam wacana
dekonstruksi. Oleh karena itu, seorang
dekonstruksionis mempunyai sudut
pandang dan tafsiran yang berbeda dengan
peneliti lainnya tergantung dari
mana dekonstruksionis tersebut memulainnya.
…asal jangan naik jalan, dan
ngomongnya melebihi dari yang naik dari terminal.
C. SIMPULAN
Maka, sebagai jawaban atas
permasalahan pada penelitian ini, ada
beberapa hal penting dari jawaban
masalah yang disimpulkan, dan perlu
dipikirkan bersamaan dengan
eksistensi postmodernisme
dalam dunia akademisi.
1. Bentuk konstruksi teks upacara tabuik Pariaman, merupakan bentuk
ketidakmampuan modernisme dalam menanggulangi
ketidakpuasan
11
masyarakat yang termajinalkan. Hal
ini dirasakan oleh masyarakat akademisi
dan profesional di bidang
kajiannya, seperti, masalah sosial, politik, ekonomi,
seni, dan kebudayaan, pada
umumnya. Kegagalan atas ketidakpuasan tersebut
paling sedikit meliputi lima
aspek, yaitu; (1) kegagalan dalam mewujudkan
perbaikan dalam berbagai bidang,
(2) modernisme gagal dalam melepaskan
diri dari kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan otoritas, misalnya
penggunaan referensi yang
mendahului penelitian, (3) dalam perkembangan
teori modern sering terjadi
kontradiksi antara teori dan fakta, (4) ilmu
pengetahuan modernisme ternyata
tidak mampu menanggulangi kemiskinan,
pengangguran, dan kerusakan
lingkungan yang diakibat oleh kemajuan
teknologi, (5) ilmu pengetahuan
modern terlalu menekankan pada dimensi
fisik, dan mengabaikan dimensi
mitis dan metafisika yang lain.
2. Di samping itu, fenomena
tentang “kesenian” adalah peristiwa dalam wacana
upacara tabuik Pariaman, Sumatera Barat.
Kemudian, permasalahannya
dipahami sebagai suatu peristiwa
upacara, akan dapat hidup dan bertahan
dalam masyarakat pendukungnya dan
memberikan kepuasan bagi suatu
kelompok masyarakat, untuk
memenuhi fungsi serta tugasnya dalam struktur
masyarakat. Adapun dekonstruksi
fungsi wacana tersebut terdiri dari, (1)
Fungsi Instruksi, Pengokohan
Sistem Sosial dan penundaan Propaganda, (2)
fungsi keyakinan dan kesadaran
rasionalitas humanistik, (3) fungsi kehadiran
mitos untuk penyatuan ambivalensi,
(4) fungsi pengembangan ideologi, dan
penyingkapan kode estetik, (5)
fungsi identifikasi peristiwa dan pernyataan
wacana estetika postmodernisme,
dan (6) fungsi pensucian dan penyataan
estetis kosmologi masyarakat.
Hal ini sama dengan pandangan
kebudayaan postmodernisme tentang
idealitas dan nilai teks,
estetika, dan upacara tabuik di Pariaman Sumatera
Barat merupakan semangat zaman (zeitgeist) yang berlaku universal dan
menimbulkan permasalahan
epistemologi tentang estetika. Tentu saja hal ini
disebabkan oleh perkembangan
postmodernisme itu sendiri yaitu diwarnai
oleh fragmentasi kebudayaan,
segmentasi kelompok-kelompok sosial, dan
kemajemukan gaya etnis yang
menyertainya. Masalahnya, nilai-nilai formal
12
dan fungsional tidak lagi menjadi
kandungan isi utama, sehingga kajian
postmodernisme membuka pintu
lebar-lebar berintegrasi dan
“bersimpangsiuran” berbagai gaya
estetis dari berbagai seniman, periode,
kebudayaan bahkan yang bersifat
kontradiktif sekalipun membentuk konturkontur
gaya yang bersifat sinkretik,
elektrik, atau hibrik. Dengan demikian,
nyatalah bahwa pendekatan
postmodernis terhadap bentuk, fungsi dan makna
terhadap wacana nilai estetika
pada upacara tabuik di Pariaman pun,
cenderung menekankan pada makna
majemuk (polysemy) dan bukan makna
tunggal (monosemy).
3. Kaum postmodernisme juga
meyakini bahwa masyarakat atau peneliti tidak
mungkin memahami sebuah karya seni
(upacara tabuik), jika sama sekali tidak
memiliki informasi aksiologis. Hal
ini, diyakini juga bahwa upacara tabuik
selalu memuat sifat-sifat dan
makna yang berakar pada konteks sosio-kultural,
dan tentunya upacara tabuik ini akan dapat ditafsirkan
berbeda-beda dalam
tempat dan waktu yang berlainan.
Memahami makna estetika upacara tabuik
di Pariaman, maka penjelajahan
esensial makna upacara tabuik akan
dijelaskan dengan mendekonstruksi
makna wacana. Tendensi pencarian dan
penjelajahan makna upacara tabuik dengan dekonstruksi atau
membongkar
bertujuan untuk mencari
nilai-nilai universal, sesuai dengan ideologi budaya
postmodernisme adalah keragaman, oposisi
biner, dan “counter
kemapanan”,
dalam implementasi yang sangat
luas meliputi berbagai persoalan. Kerangka
budaya dari keragaman tersebut
adalah menghempaskan yang monolitik dan
homogen atas perbedaan (difference), keanekaragaman, dan
heterogenitas.
Ada pun makna wacana yang
didekonstruksi dari konstuksi teks-teks wacana
tabuik terdiri dari, (1) Makna differãnce: menunda kehadiran makna sebelum
lahirnya makna baru, (2) Makna signification: membaca gejala retaknya tanda
dan runtuhnya makna, (3) Makna logosentrisme: kritik terhadap pusat dan
dekonstruksi suatu penyelesaian,
(4) Makna sakralitas dan penciptaan ruang
desakralitas, (5) Makna
“Pariaman=beri aman” etika merantau, membentuk
diri, membangun kampung halaman.
Posted by : lilis hartati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar