Sejarah Bali (Bagian 3 - Putusnya Bali dengan Jawa yang mula-mula menjadi satu daratan)
19 Januari 2013 pukul 23:20
Kebanyakan orang-orang menduga, bahwa pulau Bali dengan pulau Jawa asal
mulanya menjadi satu daratan. Akan tetapi kapan putusnya kedua pulau
itu , sehingga sekarang terdapat Selat Bali, para achli tiada dapat
menentukannya.
Kisah perjalanannya rombongan Markandeya ketika melakukan perpindahan dari Jawa ke Bali, sama sekali tiada menyebutkan tentang perjalanan mereka itu mempergunakan alat-alat pengangkutan dilaut untuk menyeberang. Hal itu mempertebal kepercayaan orang-orang, bahwa kedua pulau itu bekas menjadi satu daratan, sehingga memungkinkan orang-orang Bali Aga itu berjalan kaki menuju ketempat tanah-tanah yang dibukanya itu.
Menurut uraian seuah kitab bernama “Usana Bali” , bahwa putusnya pulau Jawa dengan pulau Bali, adalah disebabkan kesaktian seorang Pendita bernama Mpu Sidhimantra. Pendita itu bertempat tinggal; di Jawa Timur, kersahabat karib dengan seekor ular besar yang bernama “NAGA BASUKIH “ Naga itu berliang didesa Besakih yang terletak dikaki Gunung Agung, merupakan sebuah goa besar yang dianggap suci. Karena persahabatan itu Mpu Sidhimantra tiap-tiap bulan purnama raya, selalu datang ke Besakihmendapatkan Naga Basukih dengan membawa madu, susu dan mentega, untuk sahabatnya itu.
Mpu Sidhimantra mempunyai seorang anak laki-laki bernama Ida Manik Angkeran. Anaknya itu gemar berhudi, tiada menghiraukan nasehat ayahnya Oleh karena dalam perjudian itu sering kalah, sehingga menimbulkan ingatannya yang jahat. Pada suatu ketika menjelang bulan purnama raya, Mpu Sidhimantra kebetulan sakit, tiada sanggup mendapatkan sahabatnya pergi ke Bali. Kesempatan itu dipergunakan oleh Ida Manik Angkeran untuk memuaskan nafsunya mencari modal untuk berjudi. Sebuah “ bajra” kepunyaan ayahnya lalu diambilnya dengan diam-diam, tanpa ijin orang tuanya ia lalu pergi ke Bali mendapatkan Naga Basukih sahabat ayahnya itu. Sampai disana ia lalu duduk bersila sambil membunyikan “bajra” yang dibawanya itu sehingga Naga Basukih keluar dari liangnya.
Atas pertanyaan ular besar itu, Ida Manik Angkeran lalu menerangkan, bahwa ayahnya masih sakit, oleh karena itu ia menjadi wakilnya membawa pasuguh berupa madu, susu dan mentega, yang biasa dihidangkan oleh ayahnya tiap-tiap bulan. Pemberian Ida Manik Angkeran itu diterima oleh Naga Basukih dengan senang hati, kemudian ditanyakan kepadanya, apa yang dikehendakinya untuk bekalnya pulang kembali ke Jawa. Ida Manik Angkeran menjawab, bahwa ia tiada minta apa-apa, seraya dipersilakannya Naga Basukih supaya masuk kegoanya, sebelum ia mohon diri.
Naga Basukih lalu masuk kegoanya, sedang ekornya yang begitu panjang sebagian masih berada diluar. Ida Manik Angkeran kagum melihat sebuah batu permata besar yang melekat pada ujung ekor Naga Basukih itu, sehingga menimbulkan hasratnya hendak mengambil batu permata yang tiada ternilai harganya itu. Terpikir olehnya, bahwa batu permata itu cukup nanti dipakainya berjudi seumur hidup. Sejenak berpikir demikian, ekor Naga Basukih itu lalu dipenggalnya batu permata itu lalu dibawanya lari.
Akan tetapi baru ia sampai dihutan “Camara Geseng” tiba-tiba ia mati hangus terbakar, karena bekas jejak kakinya dapat dijilat oleh Naga Basukih yang sedang marah itu. Sekarang tersebutlah Mpu Sidhimantra , cemas mengenangkan nasib anaknya sudah lama tiada pulang-pulang, sedang “bajra” pusakanya telah hilang.Ia lalu pergi mendapatkan sahabatnya itu, seraya menanyakan keadaan anaknya yang sudah lama tidak pernah pulang.
Naga Basukih lalu menerangkan kepada sahabatnya itu, bahwa Ida Manik Angkeran sudah mati, lantaran keberaniannya memenggal ekornya yang berisi batu permata. Mpu Sidhimantra menyesali perbuatan anaknya itu, seraya bermohon kepada sahabatnya itu supaya dosa anaknya itu suka diampuninya. Ia berjanji kepada sahabatnya itu, apabila anaknya itu dapat dihidupkan kembali, biarlah Ida Manik Angkeran selama hidupnya tinggal di Bali untuk menjadi abdipura Besakih sebagai “Pemangku” (penyelenggara upacara di pura). Permintaan Mpu Sidhimantra diluluskan, maka Ida Manik Angkeran lalu hidup kembali berkat kesaktian Naga Basukih itu.
Maka semenjak itulah Ida Manik Angkeran disuruh oleh ayahnya supaya bertempat tinggal di Bali, tiada dibolehkan lagi pulang ke Jawa. Mpu Sidhimantra pulang kembali ke Jawa, setelah anaknya hidup lagi sebagai sediakala. Maka untuk mencegah kemungkinan anaknya itu akan menyusul perjalanannya , lalu digoreskanlah tongkatnya, sehingga daratan pulau Bali dengan pulau Jawa menjadi putus karenanya. Demikianlah ceriteranya, asal mulanya ada Selat Bali yang disebut “SEGARA RUPEK”
Ceritera kitab itu merupakan dongeng dan tachyul, tetapi kenyataannya sukar dibantah. Keturunan Ida Manik Angkeran itu disebut “Ngurah Sidemen” ternyata sampai kini berkewajiban menjadi “Pemangku” di Pura Besakih.
Penulis bangsa Eropah bernama Raffles , Hageman dan R. Van Eck, sama-sama membenarkan, bahwa Bali dan Jawa bekasnya menjadi satu daratan, oleh bencana alam yang disebabkan meletusnya sebuah gunung berapi, maka terjadilah gempa bumi besar, sehingga daratan kedua pulau itu menjadi putus.
Mereka menerangkan, bahwa peristiwa itu terjadi di alam abad ke XIII *). Akan tetapi sayang keterangan mereka itu kurang jelas, gunung mana yang dikirakan meletus oleh mereka itu. Hasil penyelidikan menyatakan, bahwa sepanjang pantai Selat Bali itu, sekarang banyak terdapat mata air panas berbau belerang. Kemungkinan disana dahulu terdapat sebuah gunung berapi yang sudah meletus.Diantara mata air panas itu sebuah disebut : Banyu Wedang, artinya air panas.
Sementara itu terdapat sebuah kitab bernama : Nagara-Kertagama karangan Prapanca, menerangkan bahwa putusnya pulau Jawa dengan pulau Madura terjadi dalam tahun Úaka 124. Bilangan tahun Úaka itu mempergunakan perhitungan “candra-sangkala” yaitu dengn perkataan yang berbunyi “ samudra nanggung bumi “ Keterangan kitab itu sesuai dengan pernyataan sebuah kitab bernama : “Wawatekan” yang menerangkan bahwa “segara rupek” itu , ialah “segara nanggung bumi”. Baik “samudra” maupun “sagara” sama artinya dengan lautan atau selat. Kedua perkataan itu sama dengan angka 4, menurut perhitungan tahun Candra-sangkala. Perkataan “nanggung” sama dengan angka 2. Sedang perkataan “bumi” sama dengan angka 1. Oleh karena caranya menghitung angka-angka itu harus berbalik, maka terjadilah bilangan tahun Úaka 124, atau tahun Masehi 202.
Meskipun kitab-kitab itu sudah menerangkan demikian, namun pernyataan itu tiada dapat dipakai pegangan yang kuat, untuk mnentukan putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa memang terjadi semasa itu. Mustahil Prapanca tiada menyebutkan dalam kitab karangannya itu, bahwa putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa bersamaan waktunya, apabila memang benar demikian halnya.-
Dalam pada itu seorang penulis bernama C.W. Laedbeater menerangkan didalam sebuah kitab karangannya bernama: “The Occult History of Java” bahwa putusnya Pulau Jawa dengan Pulau Sumatra terjadi dalam tahun Masehi 915 (meletusnya Gunung Krakatau), yang menyebabkan putus kedua pulau tersebut. Dapatlah keterangan penulis itu dipakai sandaran untuk menyatakan, bahwa putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa terjadi pada waktu itu? Memang jikalau ditilik dari letak ketiga pulau itu (Sumatera, Jawa dan Bali) seakan-akan berangkai hanya dipisahkan oleh selat-selat yang sempit, tidaklah mustahil kejadian di Selat Sunda dapat dipengaruhi keadaan di Selat Bali.
Sementara kitab-kitab itu tiada memberi ketegasan waktu mana kiranya putusnya Pulau Jawa dengan Pulau Bali terjadi, maka pendapat umum lebih condong mempercayai theori ilmu bumi. Pada zaman dahulu sebagian besar kepulauan Indonesia belum ada, masih bersatu dengan benua Asia, maka pada suatu ketika yaitu pada achir zaman es, konon katanya gunung-gunung es yang terdapat dikutub Utara dan dikutub Selatan menjadi cair, sehingga permukaan laut naik dan merendam daerah-daerah yang rendah.
Oleh karena itu terjadilah lautan Tiongkok Selatan, laut Jawa, dan Selat Malaka. Kemungkinan ketika itulah terjadinya Selat Bali itu, lantaran dataran disana rendah, turut terendam air laut yang sedang pasang itu. Jika memang demikian halnya, sudah tentu putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa itu terjadi beberapa ratus abad sebelum tarich Masehi.
Demikianlah keterangan-keterangan yang diperoleh mengenai hal ichwal putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa itu, namun para achli belum ada yang berani menerangkan, kapan sebenarnya peristiwa itu terjadi. Baiklah hal itu dipakai sebagai gambaran saja, untuk meraba-raba , bahwa kedua pulau itu pada suatu masa kiranya memang benar mula-mula menjadi satu daratan - -
_____________________
*) Raffles menerangkan , bahwa putusnya pulau Bali dengan pulau Jawa terjadi didalam tahun 1204. Hageman menerangkan terjadi dalam tahun 1293. Sedang R. van Eck menerangkan terjadi dalam tahun 1298 . Keterangan mereka itu menurut perhitungan tahun Masehi.-
*) “SEGARA RUPEK” atau selat Bali itu jaraknya yang paling sempit l.k. 2 (dua) kilometer.-
posted by lilis hartati
Kisah perjalanannya rombongan Markandeya ketika melakukan perpindahan dari Jawa ke Bali, sama sekali tiada menyebutkan tentang perjalanan mereka itu mempergunakan alat-alat pengangkutan dilaut untuk menyeberang. Hal itu mempertebal kepercayaan orang-orang, bahwa kedua pulau itu bekas menjadi satu daratan, sehingga memungkinkan orang-orang Bali Aga itu berjalan kaki menuju ketempat tanah-tanah yang dibukanya itu.
Menurut uraian seuah kitab bernama “Usana Bali” , bahwa putusnya pulau Jawa dengan pulau Bali, adalah disebabkan kesaktian seorang Pendita bernama Mpu Sidhimantra. Pendita itu bertempat tinggal; di Jawa Timur, kersahabat karib dengan seekor ular besar yang bernama “NAGA BASUKIH “ Naga itu berliang didesa Besakih yang terletak dikaki Gunung Agung, merupakan sebuah goa besar yang dianggap suci. Karena persahabatan itu Mpu Sidhimantra tiap-tiap bulan purnama raya, selalu datang ke Besakihmendapatkan Naga Basukih dengan membawa madu, susu dan mentega, untuk sahabatnya itu.
Mpu Sidhimantra mempunyai seorang anak laki-laki bernama Ida Manik Angkeran. Anaknya itu gemar berhudi, tiada menghiraukan nasehat ayahnya Oleh karena dalam perjudian itu sering kalah, sehingga menimbulkan ingatannya yang jahat. Pada suatu ketika menjelang bulan purnama raya, Mpu Sidhimantra kebetulan sakit, tiada sanggup mendapatkan sahabatnya pergi ke Bali. Kesempatan itu dipergunakan oleh Ida Manik Angkeran untuk memuaskan nafsunya mencari modal untuk berjudi. Sebuah “ bajra” kepunyaan ayahnya lalu diambilnya dengan diam-diam, tanpa ijin orang tuanya ia lalu pergi ke Bali mendapatkan Naga Basukih sahabat ayahnya itu. Sampai disana ia lalu duduk bersila sambil membunyikan “bajra” yang dibawanya itu sehingga Naga Basukih keluar dari liangnya.
Atas pertanyaan ular besar itu, Ida Manik Angkeran lalu menerangkan, bahwa ayahnya masih sakit, oleh karena itu ia menjadi wakilnya membawa pasuguh berupa madu, susu dan mentega, yang biasa dihidangkan oleh ayahnya tiap-tiap bulan. Pemberian Ida Manik Angkeran itu diterima oleh Naga Basukih dengan senang hati, kemudian ditanyakan kepadanya, apa yang dikehendakinya untuk bekalnya pulang kembali ke Jawa. Ida Manik Angkeran menjawab, bahwa ia tiada minta apa-apa, seraya dipersilakannya Naga Basukih supaya masuk kegoanya, sebelum ia mohon diri.
Naga Basukih lalu masuk kegoanya, sedang ekornya yang begitu panjang sebagian masih berada diluar. Ida Manik Angkeran kagum melihat sebuah batu permata besar yang melekat pada ujung ekor Naga Basukih itu, sehingga menimbulkan hasratnya hendak mengambil batu permata yang tiada ternilai harganya itu. Terpikir olehnya, bahwa batu permata itu cukup nanti dipakainya berjudi seumur hidup. Sejenak berpikir demikian, ekor Naga Basukih itu lalu dipenggalnya batu permata itu lalu dibawanya lari.
Akan tetapi baru ia sampai dihutan “Camara Geseng” tiba-tiba ia mati hangus terbakar, karena bekas jejak kakinya dapat dijilat oleh Naga Basukih yang sedang marah itu. Sekarang tersebutlah Mpu Sidhimantra , cemas mengenangkan nasib anaknya sudah lama tiada pulang-pulang, sedang “bajra” pusakanya telah hilang.Ia lalu pergi mendapatkan sahabatnya itu, seraya menanyakan keadaan anaknya yang sudah lama tidak pernah pulang.
Naga Basukih lalu menerangkan kepada sahabatnya itu, bahwa Ida Manik Angkeran sudah mati, lantaran keberaniannya memenggal ekornya yang berisi batu permata. Mpu Sidhimantra menyesali perbuatan anaknya itu, seraya bermohon kepada sahabatnya itu supaya dosa anaknya itu suka diampuninya. Ia berjanji kepada sahabatnya itu, apabila anaknya itu dapat dihidupkan kembali, biarlah Ida Manik Angkeran selama hidupnya tinggal di Bali untuk menjadi abdipura Besakih sebagai “Pemangku” (penyelenggara upacara di pura). Permintaan Mpu Sidhimantra diluluskan, maka Ida Manik Angkeran lalu hidup kembali berkat kesaktian Naga Basukih itu.
Maka semenjak itulah Ida Manik Angkeran disuruh oleh ayahnya supaya bertempat tinggal di Bali, tiada dibolehkan lagi pulang ke Jawa. Mpu Sidhimantra pulang kembali ke Jawa, setelah anaknya hidup lagi sebagai sediakala. Maka untuk mencegah kemungkinan anaknya itu akan menyusul perjalanannya , lalu digoreskanlah tongkatnya, sehingga daratan pulau Bali dengan pulau Jawa menjadi putus karenanya. Demikianlah ceriteranya, asal mulanya ada Selat Bali yang disebut “SEGARA RUPEK”
Ceritera kitab itu merupakan dongeng dan tachyul, tetapi kenyataannya sukar dibantah. Keturunan Ida Manik Angkeran itu disebut “Ngurah Sidemen” ternyata sampai kini berkewajiban menjadi “Pemangku” di Pura Besakih.
Penulis bangsa Eropah bernama Raffles , Hageman dan R. Van Eck, sama-sama membenarkan, bahwa Bali dan Jawa bekasnya menjadi satu daratan, oleh bencana alam yang disebabkan meletusnya sebuah gunung berapi, maka terjadilah gempa bumi besar, sehingga daratan kedua pulau itu menjadi putus.
Mereka menerangkan, bahwa peristiwa itu terjadi di alam abad ke XIII *). Akan tetapi sayang keterangan mereka itu kurang jelas, gunung mana yang dikirakan meletus oleh mereka itu. Hasil penyelidikan menyatakan, bahwa sepanjang pantai Selat Bali itu, sekarang banyak terdapat mata air panas berbau belerang. Kemungkinan disana dahulu terdapat sebuah gunung berapi yang sudah meletus.Diantara mata air panas itu sebuah disebut : Banyu Wedang, artinya air panas.
Sementara itu terdapat sebuah kitab bernama : Nagara-Kertagama karangan Prapanca, menerangkan bahwa putusnya pulau Jawa dengan pulau Madura terjadi dalam tahun Úaka 124. Bilangan tahun Úaka itu mempergunakan perhitungan “candra-sangkala” yaitu dengn perkataan yang berbunyi “ samudra nanggung bumi “ Keterangan kitab itu sesuai dengan pernyataan sebuah kitab bernama : “Wawatekan” yang menerangkan bahwa “segara rupek” itu , ialah “segara nanggung bumi”. Baik “samudra” maupun “sagara” sama artinya dengan lautan atau selat. Kedua perkataan itu sama dengan angka 4, menurut perhitungan tahun Candra-sangkala. Perkataan “nanggung” sama dengan angka 2. Sedang perkataan “bumi” sama dengan angka 1. Oleh karena caranya menghitung angka-angka itu harus berbalik, maka terjadilah bilangan tahun Úaka 124, atau tahun Masehi 202.
Meskipun kitab-kitab itu sudah menerangkan demikian, namun pernyataan itu tiada dapat dipakai pegangan yang kuat, untuk mnentukan putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa memang terjadi semasa itu. Mustahil Prapanca tiada menyebutkan dalam kitab karangannya itu, bahwa putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa bersamaan waktunya, apabila memang benar demikian halnya.-
Dalam pada itu seorang penulis bernama C.W. Laedbeater menerangkan didalam sebuah kitab karangannya bernama: “The Occult History of Java” bahwa putusnya Pulau Jawa dengan Pulau Sumatra terjadi dalam tahun Masehi 915 (meletusnya Gunung Krakatau), yang menyebabkan putus kedua pulau tersebut. Dapatlah keterangan penulis itu dipakai sandaran untuk menyatakan, bahwa putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa terjadi pada waktu itu? Memang jikalau ditilik dari letak ketiga pulau itu (Sumatera, Jawa dan Bali) seakan-akan berangkai hanya dipisahkan oleh selat-selat yang sempit, tidaklah mustahil kejadian di Selat Sunda dapat dipengaruhi keadaan di Selat Bali.
Sementara kitab-kitab itu tiada memberi ketegasan waktu mana kiranya putusnya Pulau Jawa dengan Pulau Bali terjadi, maka pendapat umum lebih condong mempercayai theori ilmu bumi. Pada zaman dahulu sebagian besar kepulauan Indonesia belum ada, masih bersatu dengan benua Asia, maka pada suatu ketika yaitu pada achir zaman es, konon katanya gunung-gunung es yang terdapat dikutub Utara dan dikutub Selatan menjadi cair, sehingga permukaan laut naik dan merendam daerah-daerah yang rendah.
Oleh karena itu terjadilah lautan Tiongkok Selatan, laut Jawa, dan Selat Malaka. Kemungkinan ketika itulah terjadinya Selat Bali itu, lantaran dataran disana rendah, turut terendam air laut yang sedang pasang itu. Jika memang demikian halnya, sudah tentu putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa itu terjadi beberapa ratus abad sebelum tarich Masehi.
Demikianlah keterangan-keterangan yang diperoleh mengenai hal ichwal putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa itu, namun para achli belum ada yang berani menerangkan, kapan sebenarnya peristiwa itu terjadi. Baiklah hal itu dipakai sebagai gambaran saja, untuk meraba-raba , bahwa kedua pulau itu pada suatu masa kiranya memang benar mula-mula menjadi satu daratan - -
_____________________
*) Raffles menerangkan , bahwa putusnya pulau Bali dengan pulau Jawa terjadi didalam tahun 1204. Hageman menerangkan terjadi dalam tahun 1293. Sedang R. van Eck menerangkan terjadi dalam tahun 1298 . Keterangan mereka itu menurut perhitungan tahun Masehi.-
*) “SEGARA RUPEK” atau selat Bali itu jaraknya yang paling sempit l.k. 2 (dua) kilometer.-
posted by lilis hartati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar