Naruto

Naruto

Rabu, 04 Desember 2013

upacara tabuik



UPACARA TABUIK DI PARIAMAN:
PARADIGMA DEKONSTRUKSI WACANA
ESTETIKA POSTMODERNISME

PENDAHULUAN
            Sebagai daerah rantau, di Pariman terdapat berbagai jenis kesenian anak
nagari dan keberadaannya dalam ‘masyarakat adat’ diakui sebagai permainan
anak nagari. Kondisi masing-masing kesenian tersebut sangat bervariasi, yaitu
ada yang hidup, berkembang, dan berdampingan dengan komunitas
masyarakatnya, di samping ada juga yang telah berubah sesuai dengan globalisasi
massa dan efesiensi pendukungnya. Salah satu jenis permainan anak nagari
tersebut adalah upacara tabuik, berbentuk rites, mengenang sahidnya Imam
Husein Bin Ali Abi Thalib di tawan oleh tentara Yazid Bin Muawiyah di Padang
Karbala. Keberadaanya sekarang dapat dilihat dari eksistensinya di tengah-tengah
masyarakat telah terkontaminasi oleh desakan otonomi daerah, desakan
pariwisata, dan otoriter pemerintahan terhadap pertunjukan upacara tabuik. Secara
historis upacara ini erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan agama
Islam, khususnya Islam Syi'ah di Pariaman.
Pada mulanya upacara tabuik merupakan upacara suci bagi para kaum
Syi’ah yang berada di pantai barat Sumatera Barat umumnya atau di Pariaman
khususnya. Upacara ini dilaksanakan sekali dalam satu tahun, setiap tanggal 1
sampai dengan 10 Muharam dihitung berdasarkan tahun Hijiriah. Keberadaanya
diakui sebagai upacara anak nagari serta dilindungi oleh adat Minangkabau.
Setelah masuk paham postkolonialisme, pemikiran modernisme, dan
eksperimentasi hegemoni memasuki subtansial bentuk-bentuk artistik ideologi
estetika moderat dominan dilakukan secara sporadis terhadap kelompok estetika
tradisional yang orientasinya jelak-bagus, kaya-miskin, pusat-daerah, seni kratonseni
pesisir, dan Barat-Timur, seperti realisme yang sebagian besar merupakan
penemuan bentuk-bentuk hegemoni Barat. Selain memiliki estetika model-model
kultural yang berbeda, bentuk-bentuk kebudayaan tersebut secara radikal
2
mengacaukan asumsi-asumsi umum estetika suatu etnis, termasuk kebudayaan
Indonesia yang multikultural, multietnis, dan multibahasa. Di sinilah estetika
postmodernisme sebenarnya menuntut bahwa kebudayaan dan estetika bukanlah
hanya satu di antara sekian banyak cara guna memahami realitas dan
mengorganisasi berbagai representasi yang berbeda-beda dalam kesenian dan
praktik sosial lainnya, melakukan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
kanter hegemonik (counter hegemonic) atau dekonstruksi terhadap perlakuan
sistem penguasaan hegemoni tersebut.
Keterbukaan kebudayaan pluralistik mengilhami adanya kecenderungan
budaya atas nilai-nilai atau norma-norma, sehingga nilai-nilai kekhasan
(ideografis) setiap etnis, kelompok masyarakat, bahkan individu akan selalu
muncul sebagai akibat proses penyerapan nilai, lingkungan, pengetahuan dasar,
dan pandangan dunia setiap kelompok individu tersebut berbeda-beda. Oleh
karena itu, ruang pribadi atau critical distance ini harus selalu dipahami dalam
konteks nilai-nilai kultural yang bersifat ideografis untuk setiap etnis dalam suatu
suku bangsa, kelompok masyarakat, bahkan suatu invidu agar tidak terjebak
dengan masalah nasrasi budaya modernitas (Santoso, 2003: 10).
Pemahaman nilai-nilai dan norma-norma kultural yang bersifat dinamis
yang nomotetis dan sekaligus ideografis, penting agar tidak terperangkap pada
analisis dan interpretasi yang sempit dan kaku, seperti yang pernah disarankan
oleh Jacques Derrida dengan proyek dekonstruksinya. Begitu juga hubungan nilai
kultural dan proses sosial dalam upacara tabuik di Pariaman yang merupakan
suatu interaksi antar anggota masyarakat baik yang bersifat verbal maupun non
verbal dalam upacara tersebut.
Nilai dan norma kultural yang terkandung dalam upacara tabuik di
Pariaman yang merupakan suatu proses sosial akan terlihat melalui fungsi sosial
dan tata cara proses sosial, seperti bentuk kasus musyawarah nagari yang
mempunyai fungsi sosial untuk mendapatkan mufakat dan penyelesaian masalah
adat serta permainan anak nagari. Selain itu proses sosial musyawarah, juga
mempunyai suatu tata cara tertentu dalam penyelenggaraannya sehingga
3
merupakan pengejawatahan nilai-nilai harmonis dalam berinteraksi pada
masyarakat Pariaman di Sumatera Barat.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka upacara tabuik sebagai wacana,
maka menurut Spradley (1987), Endraswara (2003), dan Kutha Ratna (2004)
bahwa kehadiran pemikiran postmodernisme memberikan ketidakpuasan terhadap
model penelitian budaya sebelumnya, atau perlakuan terhadap idealitas sering
mengalami stagnasi dan membentuk oposisi biner, sehingga ada yang menang
dan ada yang kalah, ada yang baik dan ada yang buruk. Teori evolusionisme,
struktural fungsional, dan seterusnya mengklaim dirinya modern sehingga teori
dalam ranah “cultural studies” kurang mewakili kebenaran budaya yang semakin
kompleks. Tuntutan zaman dan selera budaya masa kini tidak mampu diwadahi
oleh teori-teori modern yang agak sedikit kaku karena berada pada oposisi biner.
Pandangan modernisme hampir selalu subjec matter, yaitu sebuah pemahaman
budaya “harus ini” dan “harus itu”. Artinya, keharusan semacam itu sering tidak
cukup mampu melacak kebenaran fenomenal budaya yang kian berkembang dan
sekadar kamuflase saja.
Sebagai wilayah dekonstruksi estetis upacara tabuik Keesing (1999:5; dan
Endraswara, (2003:123-124) menyatakan bahwa kebenaran dan keseimbangan
budaya yang dimaksud Derrida merupakan suatu wacana yang hadir dan harus
dibela keberadaannya di dalam peristiwa teks. Otoritas teks-teks di dalam sebuah
wacana akan menentukan posisinya sebagai bentuk, fungsi dan makna pada
peristiwa budaya. Di samping itu teks-teks yang tersusun di dalam upacara tabuik
adalah; (1) upacara mengambil tanah, (2) upacara menebang batang pisang, (3)
upacara ma-atam panja, (4) upacara ma-arak sorban, (5) upacara tabuik naik
pangkek, dan (6), upacara ma-oyak tabuik. Selanjutnya, semua teks-teks ini
disebut juga “wacana” atau “bacaan upacara tabuik”. Konstruksi bangunan
wacana atau bacaan upacara tabuik tersebut akan didekonstruksi atau “dibongkar”
melalui proses dekonstruksi Derrida yang membebaskan logosentris-nya dari
peristiwa ke dalam sebuah fakta budaya dengan menonjolkan subtansial dan
kesadaran wacana (Greg, 2002:157). Hal ini diperkirakan akan dapat membaca
4
estetika postmodernisme Indonesia yang multikultural dengan menunjukkan gaya
dan entitas estetika yang daerah-daerahnya multi kultural.
Penelitian ini akan dijelaskan dengan dekonstruksionisme bentuk, fungsi
dan makna yang sesuai dengan cultural studies. Pandangan kebudayaan
postmodernisme tentang idealitas dan nilai teks, estetika, dan upacara tabuik di
Pariaman Sumatera Barat merupakan semangat zaman (zeitgeist) yang berlaku
universal dan menimbulkan permasalahan epistemologi tentang estetika. Tentu
saja hal ini disebabkan oleh perkembangan postmodernisme itu sendiri yaitu
diwarnai oleh fragmentasi kebudayaan, segmentasi kelompok-kelompok sosial,
dan kemajemukan gaya etnis yang menyertainya. Masalahnya, nilai-nilai formal
dan fungsional tidak lagi menjadi kandungan isi utama, sehingga kajian
postmodernisme membuka pintu lebar-lebar berintegrasi dan “bersimpangsiuran”
berbagai gaya estetis dari berbagai seniman, periode, kebudayaan bahkan yang
bersifat kontradiktif sekalipun membentuk kontur-kontur gaya yang bersifat
sinkretik, elektrik, atau hibrik (Piliang, 2003:201). Dengan demikian, nyatalah
bahwa pendekatan postmodernis terhadap bentuk, fungsi dan makna terhadap
wacana nilai estetika pada upacara tabuik di Pariaman pun, cenderung
menekankan pada makna majemuk (polysemy) dan bukan makna tunggal
(monosemy).
Adapun masalah dalam penelitian ini adalah: a) Bagaimanakah bentuk
upacara tabuik, kaitan dengan estetika budaya masyarakat di Pariaman?; b)
Bagaimanakah fungsi estetika upacara tabuik pada masyarakat di Pariaman
sekarang?; dan c) Bagaimanakah masyarakat memaknai upacara tabuik di
Pariaman, Sumatera Barat?
Tujuan penelitian ini ada dua macam yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban dan
penjelasan dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan. Di samping itu,
juga bertujuan untuk mengetahui kandungan isi estetika upacara tabuik pada
masyarakat Pariaman Sumatera Barat yang akan dijadikan cerminan dan pedoman
dalam kehidupan masyarakat Minangkabau pada umumnya. Secara khusus
5
penelitian ini bertujuan untuk: a) Mengetahui bentuk pertunjukan upacara tabuik
di Pariaman Sumatera Barat sebagai budaya masyarakat Minangkabau sekarang;
b) Mengetahui fungsi estetika upacara tabuik dalam kehidupan sosial masyarakat
Pariaman; dan c) Menjelaskan makna estetis yang terkandung dalam pertunjukan
upacara tabuik bagi kehidupan masyarakat dikaitkan dengan agama dan adat
istiadat di Minangkabau khususnya.


B. PEMBAHASAN
Sebagai permainan anak nagari, kesenian di Minangkabau sangat
bervariasi, yaitu ada yang hidup, berkembang, dan berdampingan dengan
komunitas masyarakatnya, di samping ada juga yang telah berubah sesuai dengan
globalisasi massa dan efesiensi pendukungnya. Salah satu adalah upacara tabuik,
berbentuk rites, mengenang sahidnya Imam Husein Bin Ali Abi Thalib di tawan
oleh tentara Yazid Bin Muawiyah di Padang Karbala. Sekarang, eksistensinya di
tengah-tengah masyarakat telah terkontaminasi dan terganggu oleh desakan
otonomi daerah, pariwisata, dan otoriter pemerintahan. Jauh dari kondisi sekarang
ini, secara historis upacara ini erat kaitannya dengan pertumbuhan dan
perkembangan agama Islam, khususnya Islam Syi'ah di Pariaman. Di samping itu,
upacara tabuik merupakan upacara suci bagi para kaum Syi’ah yang berada di
pantai barat Sumatera Barat umumnya atau di Pariaman khususnya. Upacara ini
dilaksanakan sekali dalam satu tahun, setiap tanggal 1 sampai dengan 10
Muharam dihitung berdasarkan tahun Hijiriah. Keberadaanya diakui sebagai
upacara anak nagari serta dilindungi oleh adat Minangkabau.
Indikasi dan kapabilatas pemikiran modernisme, dan eksperimentasi
hegemoni terhadap upacara tabuik memasuki subtansial bentuk-bentuk artistik
ideologi, estetika moderat, dominan dilakukan secara sporadis terhadap kelompok
estetika tradisional yang orientasinya jelek-bagus, kaya-miskin, pusat-daerah, seni
kraton-seni pesisir, dan Barat-Timur, seperti realisme yang sebagian besar
merupakan penemuan bentuk-bentuk hegemoni Barat. Selain memiliki estetika
model-model kultural yang berbeda, bentuk-bentuk kebudayaan tersebut secara
radikal mengacaukan asumsi-asumsi umum estetika suatu etnis, termasuk
6
kebudayaan Indonesia yang multikultural, multietnis, dan multibahasa. Di sinilah
estetika postmodernisme sebenarnya menuntut bahwa kebudayaan dan estetika
bukanlah hanya satu di antara sekian banyak cara guna memahami realitas dan
mengorganisasi berbagai representasi yang berbeda-beda dalam kesenian dan
praktik sosial lainnya, melakukan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
kanter hegemonik (counter hegemonic) atau dekonstruksi terhadap perlakuan
sistem penguasaan hegemoni tersebut.
Paham postmodernisme mendekonstruksi tentang idealitas dan nilai teks,
estetika, dan upacara tabuik di Pariaman Sumatera Barat merupakan semangat
zaman (zeitgeist) yang berlaku universal dan menimbulkan permasalahan
epistemologi tentang estetika. Tentu saja hal ini disebabkan oleh perkembangan
postmodernisme itu sendiri yaitu diwarnai oleh fragmentasi kebudayaan,
segmentasi kelompok-kelompok sosial, dan kemajemukan gaya etnis yang
menyertainya. Masalahnya, nilai-nilai formal dan fungsional tidak lagi menjadi
kandungan isi utama, sehingga kajian postmodernisme membuka pintu lebar-lebar
berintegrasi dan “bersimpangsiuran” berbagai gaya estetis dari berbagai seniman,
periode, kebudayaan bahkan yang bersifat kontradiktif sekalipun membentuk
kontur-kontur gaya yang bersifat sinkretik, elektrik, turbelensi, supersif,
provokator, gila sekalipun, dan hibrik. Dengan demikian, nyatalah bahwa
pendekatan postmodernis terhadap bentuk, fungsi dan makna terhadap wacana
nilai estetika pada upacara tabuik di Pariaman pun, cenderung menekankan pada
makna majemuk (polysemy) dan bukan makna tunggal (monosemy).
Hal ini, diyakini juga bahwa upacara tabuik selalu memuat sifat-sifat dan
makna yang berakar pada konteks sosio-kultural, dan tentunya upacara tabuik ini
akan dapat ditafsirkan berbeda-beda dalam tempat dan waktu yang berlainan.
Memahami makna estetika upacara tabuik di Pariaman, maka penjelajahan
esensial makna upacara tabuik akan dijelaskan dengan mendekonstruksi makna
wacana. Tendensi pencarian dan penjelajahan makna upacara tabuik dengan
dekonstruksi atau membongkar bertujuan untuk mencari nilai-nilai universal,
sesuai dengan ideologi budaya postmodernisme adalah keragaman, oposisi biner,
dan “counter kemapanan”, dalam implementasi yang sangat luas meliputi
7
berbagai persoalan. Kerangka budaya dari keragaman tersebut adalah
menghempaskan yang monolitik dan homogen atas perbedaan (difference),
keanekaragaman, dan heterogenitas.
Diilhami penelitian terdahulu, Khanizar (1995) berjudul “Musik Tabuik
dalam Upacara Tabuik sebagai Upacara kaum Syi'ah di Pantai Barat Sumatera
Barat”,
 skripsi Sarjana (S1) etnomusikologi pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia
Surakarta. Skripsi ini menjelaskan secara deskriptif tentang pelaksanaan upacara
tabuik di Pantai Barat Sumatera Barat. Di samping itu, skripsi ini dipandang
belum lengkap karena masih pada tataran deskriptif karena belum menggunakan
konsep, kerangka teori untuk menjelaskan objek penelitian. Berdasarkan
kekuranganitensitas skripsi maka dikembangkan menjadi judul “Upacara Tabuik
Di Pariaman, Sumatera Barat: Analisis melalui Teori Dekonstruksi, dan Wacana
Estetika Postmodernisme”. Adapun pustaka yang dirujuk dan akan dijadikan
kredibilitas sebagai dasar untuk penjelasan penelitian ini. Kris Budiman (2004)
dalam Jejaringan Tanda-tanda, Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik
Kebudayaan. Dalam buku ini Budiman menjelaskan sisi budaya dari langue dan
parole; langue merupakan sistem dan intuisi, sedangkan parole pada hakikatnya
merupakan tindakan individual yang menggunakan kode bahasa untuk
mengungkapkan pikiran pribadinya. Berlainan dengan Budiman (2004), penelitian
ini akan menggunakan konstruksi teks dalam wacana estetika budaya upacara
tabuik di Pariaman di luar persoalan bahasa. Artinya, konsep parole dan langue
akan berbeda, sangat penting dan pantas dipergunakan di luar persoalan linguistik
(bahasa), tetapi pantas dan relevan juga digunakan untuk menjelaskan persoalan
budaya.
Sedangkan untuk menjelaskan wacana dekonstruksi konsep Jacques
Derrida, sekurangnya ada dua buku yang sangat relevan dan pantas untuk
dikemukakan, yakni Membaca Pemikiran Jacques Derrida yang ditulis oleh
Gayatri Chakravorty Spivak (2003). Kemudian, Membongkar Teori Dekonstruksi
Jacques Derrida yang ditulis oleh Christopher Norris (2003). Berdasarkan Norris
(2003) dan Spivak (2003) upacara tabuik dapat dilacak esistensi estetikanya
melalui metode pembacaan dekonstruktif, bahwa pembacaan terhadap wacana
8
estetika dalam upacara tabuik sesungguhnya adalah tulisan seperti yang
dinyatakan oleh Jacques Derrida.
Yasraf Amir Piliang Piliang menulis wacana estetika postmodernisme
dalam beberapa tulisannya, antaranya, Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies
Atas Matinya Makna (2003). Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era
Posmetafisika. 2004a. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas
Kebudayaan. 2004b. Maka untuk itu penting penelitian ini lebih mengarah kepada
bentuk penelitian dekonstruksi wacana estetika upacara tabuik sebagai kesenian
anak nagari dalam arti seni pertunjukan yang seluas-luasnya dengan
mengutamakan kearifan lokal.
Berdasarkan informasi, laporan penelitian, dan buku-buku yang berkaitan
dengan upacara tabuik di Pariaman Sumatera Barat tidak ada ditemui judul
penelitian/tulisan yang sama dengan penelitian ini. Dengan demikian, maka
penelitian tentang “Upacara Tabuik di Pariaman, Sumatera Barat: Analisis melalui
Teori Dekonstruksi, dan Wacana Estetika Postmodernisme”, belum pernah
dilaksanakan sehingga dirasakan otentik untuk kepentingan penelitian penysunan
tesis ini.
Fokus kajian ini adalah wacana idealitas estetika upacara tabuik di
Pariaman, Sumatera Barat. Wacana merupakan suatu kesadaran terhadap nilai
tradisonal. Pembahasan penelitian ini akan menggunakan dua teori besar yaitu
teori dekonstruksi postmodernisme Jacques Derrida dan teori (post)semiotika
Roland Barthes. Di samping itu, penelitian ini bersifat kualitatif, dilakukan
dengan paradigma baru ilmu pengetahuan, yakni cultural studies. Artinya,
penelitian ini bukan hanya menjelaskan upacara tabuik dalam “estetika telanjang”
tentang ontologi yang sesesungguhnya, konservatif, positivistik, formalis,
melainkan sebuah bentuk penelitian yang dikemas—secara epistemologis—ke
dalam bentuk wacana estetika postmodernisme. Sangat disadari, bahwa kajian
tentang wacana dan teks adalah lahan penelitian linguistik, tetapi dalam hal ini
dikembangkan untuk menjelaskan peristiwa budaya dan kesenian. Sehingga,
metode dekonstruksi wacana estetika postmodernisme dalam fenomen kehadiran
upacara tabuik dapat disejajarkan dengan konstruksi teks-teks.
9
Sebenarnya dengan menggunakan teori dekontruksi postmodernisme
dalam menganalisis upacara tabuik di Pariaman, Sumatera Barat sangat tepat,
tidak saja meretas dan mengakui pluralitas budaya sebagai keniscayaan realitas,
dan meng-counter nuansa dominasi subjek terhadap objek, tetapi jauh dari itu,
akan mampu merefleksikan kanon-kanon budaya tradisi untuk mencapai
keseimbangan dan pluralitas itu sendiri, sehingga dirasakan bebas dari makna
monosemy.
Bentuk konstruksi teks upacara tabuik Pariaman, merupakan bentuk
ketidakmampuan modernisme dalam menanggulangi ketidakpuasan masyarakat
yang termajinalkan. Hal ini dirasakan oleh masyarakat akademisi dan profesional
di bidang kajiannya, seperti, masalah sosial, politik, ekonomi, seni, dan
kebudayaan, pada umumnya. Kegagalan atas ketidakpuasan tersebut paling sedikit
meliputi lima aspek, yaitu; (1) kegagalan dalam mewujudkan perbaikan dalam
berbagai bidang, (2) modernisme gagal dalam melepaskan diri dari kesewenangwenangan
dan penyalahgunaan otoritas, misalnya penggunaan referensi yang
mendahului penelitian, (3) dalam perkembangan teori modern sering terjadi
kontradiksi antara teori dan fakta, (4) ilmu pengetahuan modernisme ternyata
tidak mampu menanggulangi kemiskinan, pengangguran, dan kerusakan
lingkungan yang diakibat oleh kemajuan teknologi, (5) ilmu pengetahuan modern
terlalu menekankan pada dimensi fisik, dan mengabaikan dimensi mitis dan
metafisika yang lain.
Di samping itu, fenomena tentang “kesenian” adalah peristiwa dalam
wacana upacara tabuik Pariaman, Sumatera Barat. Kemudian, permasalahannya
dipahami sebagai suatu peristiwa upacara, akan dapat hidup dan bertahan dalam
masyarakat pendukungnya dan memberikan kepuasan bagi suatu kelompok
masyarakat, untuk memenuhi fungsi serta tugasnya dalam struktur masyarakat.
Adapun dekonstruksi fungsi wacana tersebut terdiri dari, (1) Fungsi Instruksi,
Pengokohan Sistem Sosial dan penundaan Propaganda, (2) fungsi keyakinan dan
kesadaran rasionalitas humanistik, (3) fungsi kehadiran mitos untuk penyatuan
ambivalensi, (4) fungsi pengembangan ideologi, dan penyingkapan kode estetik,
10
(5) fungsi identifikasi peristiwa dan pernyataan wacana estetika postmodernisme,
dan (6) fungsi pensucian dan penyataan estetis kosmologi masyarakat.
Ada pun makna wacana yang didekonstruksi dari konstuksi teks-teks
wacana tabuik terdiri dari, (1) Makna differãnce: menunda kehadiran makna
sebelum lahirnya makna baru, (2) Makna signification: membaca gejala retaknya
tanda dan runtuhnya makna, (3) Makna logosentrisme: kritik terhadap pusat dan
dekonstruksi suatu penyelesaian, (4) Makna sakralitas dan penciptaan ruang
desakralitas, (5) Makna “Pariaman=beri aman” etika merantau, membentuk diri,
membangun kampung halaman
Bentuk yang dihadirkan dalam wacana upacara tabuik adalah berkaitan
dengan realitas kekinian dan dapat didudukkan sebagai fakta estetika budaya
Minangkabau, selama ini eksistensinya tidak terjamah, terpingirkan, cenderung
berpaham atas estetika orientalisme. Follow-up dekonstruksi estetika
postmodernisme terhadap kajian pertunjukan upacara tabuik, harus diposisikan
sebagai rangkaian teks-teks yang berurutan sesuai dengan ideologi dan nilai
wacana.
Dekonstruksi wacana estetika di sini akan menunjuk pada salah satu
bidang, untuk mempertahankan keutuhan, kekuatan yang berjalan secara terusmenerus
dalam eksistensi dan pola kehidupan masyarakat. Refleksi jejak
postmodernisme bertujuan untuk mengetahui tentang apa yang diaplikasikan dan
dioperasikan ke dalam wacana dekonstruksi. Oleh karena itu, seorang
dekonstruksionis mempunyai sudut pandang dan tafsiran yang berbeda dengan
peneliti lainnya tergantung dari mana dekonstruksionis tersebut memulainnya.
…asal jangan naik jalan, dan ngomongnya melebihi dari yang naik dari terminal.
C. SIMPULAN
Maka, sebagai jawaban atas permasalahan pada penelitian ini, ada
beberapa hal penting dari jawaban masalah yang disimpulkan, dan perlu
dipikirkan bersamaan dengan eksistensi postmodernisme dalam dunia akademisi.
1. Bentuk konstruksi teks upacara tabuik Pariaman, merupakan bentuk
ketidakmampuan modernisme dalam menanggulangi ketidakpuasan
11
masyarakat yang termajinalkan. Hal ini dirasakan oleh masyarakat akademisi
dan profesional di bidang kajiannya, seperti, masalah sosial, politik, ekonomi,
seni, dan kebudayaan, pada umumnya. Kegagalan atas ketidakpuasan tersebut
paling sedikit meliputi lima aspek, yaitu; (1) kegagalan dalam mewujudkan
perbaikan dalam berbagai bidang, (2) modernisme gagal dalam melepaskan
diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas, misalnya
penggunaan referensi yang mendahului penelitian, (3) dalam perkembangan
teori modern sering terjadi kontradiksi antara teori dan fakta, (4) ilmu
pengetahuan modernisme ternyata tidak mampu menanggulangi kemiskinan,
pengangguran, dan kerusakan lingkungan yang diakibat oleh kemajuan
teknologi, (5) ilmu pengetahuan modern terlalu menekankan pada dimensi
fisik, dan mengabaikan dimensi mitis dan metafisika yang lain.
2. Di samping itu, fenomena tentang “kesenian” adalah peristiwa dalam wacana
upacara tabuik Pariaman, Sumatera Barat. Kemudian, permasalahannya
dipahami sebagai suatu peristiwa upacara, akan dapat hidup dan bertahan
dalam masyarakat pendukungnya dan memberikan kepuasan bagi suatu
kelompok masyarakat, untuk memenuhi fungsi serta tugasnya dalam struktur
masyarakat. Adapun dekonstruksi fungsi wacana tersebut terdiri dari, (1)
Fungsi Instruksi, Pengokohan Sistem Sosial dan penundaan Propaganda, (2)
fungsi keyakinan dan kesadaran rasionalitas humanistik, (3) fungsi kehadiran
mitos untuk penyatuan ambivalensi, (4) fungsi pengembangan ideologi, dan
penyingkapan kode estetik, (5) fungsi identifikasi peristiwa dan pernyataan
wacana estetika postmodernisme, dan (6) fungsi pensucian dan penyataan
estetis kosmologi masyarakat.
Hal ini sama dengan pandangan kebudayaan postmodernisme tentang
idealitas dan nilai teks, estetika, dan upacara tabuik di Pariaman Sumatera
Barat merupakan semangat zaman (zeitgeist) yang berlaku universal dan
menimbulkan permasalahan epistemologi tentang estetika. Tentu saja hal ini
disebabkan oleh perkembangan postmodernisme itu sendiri yaitu diwarnai
oleh fragmentasi kebudayaan, segmentasi kelompok-kelompok sosial, dan
kemajemukan gaya etnis yang menyertainya. Masalahnya, nilai-nilai formal
12
dan fungsional tidak lagi menjadi kandungan isi utama, sehingga kajian
postmodernisme membuka pintu lebar-lebar berintegrasi dan
“bersimpangsiuran” berbagai gaya estetis dari berbagai seniman, periode,
kebudayaan bahkan yang bersifat kontradiktif sekalipun membentuk konturkontur
gaya yang bersifat sinkretik, elektrik, atau hibrik. Dengan demikian,
nyatalah bahwa pendekatan postmodernis terhadap bentuk, fungsi dan makna
terhadap wacana nilai estetika pada upacara tabuik di Pariaman pun,
cenderung menekankan pada makna majemuk (polysemy) dan bukan makna
tunggal (monosemy).
3. Kaum postmodernisme juga meyakini bahwa masyarakat atau peneliti tidak
mungkin memahami sebuah karya seni (upacara tabuik), jika sama sekali tidak
memiliki informasi aksiologis. Hal ini, diyakini juga bahwa upacara tabuik
selalu memuat sifat-sifat dan makna yang berakar pada konteks sosio-kultural,
dan tentunya upacara tabuik ini akan dapat ditafsirkan berbeda-beda dalam
tempat dan waktu yang berlainan. Memahami makna estetika upacara tabuik
di Pariaman, maka penjelajahan esensial makna upacara tabuik akan
dijelaskan dengan mendekonstruksi makna wacana. Tendensi pencarian dan
penjelajahan makna upacara tabuik dengan dekonstruksi atau membongkar
bertujuan untuk mencari nilai-nilai universal, sesuai dengan ideologi budaya
postmodernisme adalah keragaman, oposisi biner, dan “counter kemapanan”,
dalam implementasi yang sangat luas meliputi berbagai persoalan. Kerangka
budaya dari keragaman tersebut adalah menghempaskan yang monolitik dan
homogen atas perbedaan (difference), keanekaragaman, dan heterogenitas.
Ada pun makna wacana yang didekonstruksi dari konstuksi teks-teks wacana
tabuik terdiri dari, (1) Makna differãnce: menunda kehadiran makna sebelum
lahirnya makna baru, (2) Makna signification: membaca gejala retaknya tanda
dan runtuhnya makna, (3) Makna logosentrisme: kritik terhadap pusat dan
dekonstruksi suatu penyelesaian, (4) Makna sakralitas dan penciptaan ruang
desakralitas, (5) Makna “Pariaman=beri aman” etika merantau, membentuk
diri, membangun kampung halaman.
Posted by : lilis hartati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar